Jakarta, DetikBisnis.com – Ketegangan perdagangan global kembali meningkat, mendorong ketidakpastian ekonomi yang memperberat daya saing pelaku usaha. Kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap komoditas dari negara berkembang, depresiasi rupiah, perlambatan investasi teknologi, serta tingginya biaya operasional, membuat bisnis dari berbagai sektor menghadapi dilema: bagaimana tetap bertumbuh tanpa harus membakar modal?
Dalam situasi penuh tekanan ini, strategi bisnis kini bergeser dari ekspansi agresif ke efisiensi internal. Fokus baru diarahkan pada evaluasi manajemen proses, penguatan loyalitas pelanggan, serta membangun ketahanan bisnis jangka panjang, khususnya dalam pengelolaan customer journey dari akuisisi hingga retensi.
Studi global menunjukkan biaya akuisisi pelanggan (Customer Acquisition Cost/CAC) melonjak lebih dari 60% dalam lima tahun terakhir. Konsumen kini semakin selektif, sementara pasar customer engagement global diprediksi tumbuh dari US$ 22,3 miliar pada 2024 menjadi US$ 48,5 miliar di 2032. Ini menegaskan pentingnya pendekatan akuisisi yang lebih efisien dan bernilai tinggi.
Namun, tantangan masih besar. Banyak bisnis belum mampu memenuhi ekspektasi pengalaman layanan yang cepat, personal, dan konsisten. Tanpa strategi engagement yang matang, pelanggan bisa dengan mudah berpaling ke kompetitor akibat satu pengalaman buruk.
Sayangnya, masih banyak perusahaan mengandalkan tools yang terpisah untuk marketing, sales, dan customer service, yang mengakibatkan data pelanggan tersebar dan komunikasi internal terputus. Padahal, studi menunjukkan perusahaan dengan strategi omnichannel kuat mampu mempertahankan hingga 89% pelanggannya—jauh di atas rata-rata industri.
Selain itu, tim sales dan support yang bekerja dalam silo meningkatkan risiko miskomunikasi dan duplikasi kerja, menciptakan pengalaman pelanggan yang tidak konsisten dan merusak kepercayaan jangka panjang.
Dalam menghadapi tekanan global dan domestik, pelaku usaha dituntut melakukan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas layanan pelanggan. Di sinilah teknologi berbasis AI memainkan peran penting. Dengan personalisasi, percepatan respon, serta peningkatan retensi pelanggan yang lebih terukur, AI menjadi kunci strategi bisnis modern. Tak heran, pasar CRM di Indonesia diprediksi tumbuh dari US$ 1,47 miliar pada 2025 menjadi US$ 1,91 miliar di 2030.
Merespons kebutuhan ini, Mekari Qontak memperkenalkan reposisi strategisnya untuk tahun 2025, berevolusi dari sekadar platform CRM dan Omnichannel menjadi Intelligent Customer Platform. Pendekatan ini mendukung pertumbuhan produktif bisnis di tengah tekanan biaya dan ekspektasi pelanggan yang meningkat, melalui solusi berbasis AI dari akuisisi hingga retensi.
“Dulu kami hanya gunakan omnichannel dari Mekari Qontak untuk menangani inquiry pelanggan. Sekarang, kami juga memanfaatkan CRM-nya untuk pelaporan internal sesuai regulasi. Koordinasi antar tim jadi lebih cepat dan komplain bisa langsung terdistribusi ke tim terkait. Lebih efisien dan interaktif,” ujar Faradila Utami, Marketing Analyst and Strategist di IDS Medical Systems Mekari.
Reposisi ini memperkuat fokus Mekari Qontak untuk mendukung tiga fungsi bisnis utama: Marketing, Sales, dan Support. Mereka juga meluncurkan empat paket solusi berbasis tahapan customer journey, yakni Broadcast, Sales Suite, Service Suite, dan Qontak 360, sebagai jawaban atas tantangan umum seperti keterputusan channel, lambatnya konversi, dan rendahnya visibilitas data pelanggan.