Washington, DetikBisnis.com – Dalam waktu kurang dari 100 hari masa kepemimpinannya yang kedua, Presiden Donald Trump telah mengguncang perekonomian Amerika Serikat hingga nyaris memasuki fase krisis. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diusung, terutama terkait tarif impor dan proteksionisme, justru dinilai memperburuk stabilitas dan membuat para pelaku usaha besar dan kecil kelimpungan.
Mengutip laporan CNN dan CBS News, janji Trump untuk menjadikan Amerika lebih terjangkau lagi kini justru berbalik arah. Meski rakyat Amerika sempat berharap pada nostalgia kejayaan ekonomi pra-pandemi, kenyataannya kebijakan Trump mendorong harga barang naik, mengganggu pasokan, dan menyebabkan volatilitas pasar.
Dalam pernyataan beberapa ekonom, termasuk dari Oxford Economics dan IMF, disebutkan bahwa kebijakan dagang Trump tidak hanya meningkatkan biaya impor, namun juga berpotensi mendorong AS ke jurang resesi. “Pendekatan Trump sangat tidak konsisten dan cenderung kacau,” kata Nancy Vanden Houten, kepala ekonom AS di Oxford Economics.
Bahkan CEO Walmart secara langsung memperingatkan bahwa rantai pasokan akan terhenti musim panas ini akibat lonjakan tarif atas barang-barang impor dari China, Hong Kong, hingga negara Asia lainnya. Maskapai penerbangan mengurangi frekuensi, dan pasar saham kehilangan triliunan dolar dalam nilai kapitalisasi.
Tak hanya itu, data dari CBS menunjukkan bahwa kebijakan Trump di sektor perdagangan, imigrasi, dan belanja pemerintah belum membuahkan hasil positif. Justru aktivitas ekonomi mengalami kontraksi, dan risiko inflasi semakin meningkat.
Mantan Senator Phil Gramm pun menyebut tarif sebagai “bencana ekonomi yang tak terhindarkan”. Ia menekankan bahwa tarif bukan hanya menaikkan harga, tetapi juga menurunkan efisiensi produksi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Di tengah gejolak tersebut, survei CBS News menunjukkan kepercayaan publik terhadap Trump mulai goyah. Meski basis pendukungnya tetap loyal, banyak warga merasa pemerintah terlalu fokus pada perang tarif dan abai terhadap upaya nyata menurunkan harga kebutuhan pokok.
Dengan kebijakan yang dinilai mundur ke era proteksionisme ekstrem, AS kini menghadapi ketidakpastian yang tidak hanya berdampak di dalam negeri, tetapi juga merusak hubungan dagang dan geopolitik dengan mitra internasional.