Banyuwangi, DetikBisnis.com – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM di Banyuwangi, Jawa Timur. Produsen tahu dan tempe di wilayah ini merasa cemas akan potensi melonjaknya harga kedelai impor, seperti yang pernah mereka alami pada 2023.
Mifa Miftahul Jannah, pengusaha tahu asal Dusun Cangaan, Desa Genteng Wetan, mengungkapkan keresahannya jika harga kedelai kembali menyentuh Rp 14.000 hingga Rp 15.000 per kilogram. Ia mengingat bahwa saat lonjakan harga terjadi dua tahun lalu, usahanya bahkan sempat tutup beberapa hari karena kerugian.
“Kalau konflik dagang itu berpengaruh ke kedelai, kami yang produsen bisa kelimpungan. Waktu itu, harga kedelai naik drastis dan kami nggak sanggup jual tahu dengan harga menyesuaikan,” ujar Mifa, Selasa (22/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa seluruh bahan baku tahu yang ia gunakan berasal dari kedelai impor karena kualitasnya dianggap lebih baik dibanding kedelai lokal. Namun, ketika harga bahan naik, produsen tidak bisa langsung menyesuaikan harga jual tahu karena daya beli masyarakat terbatas. Saat ini, harga kedelai impor telah naik menjadi Rp 9.900 per kilogram, meningkat Rp 900 dari harga awal tahun.
Dalam sehari, Mifa menggunakan sekitar 100 kilogram kedelai untuk memproduksi ratusan potong tahu yang dijual seharga Rp 500 per potong ke pengecer. Jika harga kedelai terus naik, ia khawatir margin keuntungan akan semakin menipis atau bahkan hilang.
Mifa pun berharap pemerintah ikut andil menjaga kestabilan harga kedelai impor agar pelaku usaha kecil seperti dirinya bisa tetap bertahan. “Kalau bisa tetap di Rp 8.000 sampai Rp 9.000 saja. Soalnya agen juga sudah mulai kasih sinyal bakal ada kenaikan lagi,” katanya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Rochman, produsen tempe dari dusun yang sama. Ia mengaku akan mengurangi ukuran tempe jika harga kedelai kembali naik. “Sekarang harga segini udah pas, kalau naik lagi ya ukurannya saya kecilin,” ujarnya.