Jakarta, DetikBisnis.com – Seorang pakar ekonomi dari IPB University, Anisa Dwi Utami, mengungkap fenomena duck syndrome—atau sindrom bebek—sebagai refleksi dari tekanan sosial dan ekonomi yang kini melanda kelas menengah di Indonesia. Fenomena ini menggambarkan individu yang tampak tenang dan baik-baik saja di luar, tetapi sebenarnya sedang menghadapi pergulatan berat secara emosional dan finansial.
“Banyak individu dari kelas menengah merasa harus selalu terlihat sukses dan bahagia, meskipun kenyataannya mereka sedang berada dalam tekanan besar,” jelas Anisa pada Rabu, 23 April 2025.
Menurut Anisa, tuntutan dari lingkungan sekitar, mulai dari keluarga hingga media sosial, menambah beban psikologis. Minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental dan stigma yang melekat, membuat banyak orang memilih menyembunyikan kondisinya demi mempertahankan citra.
Secara ekonomi, tekanan pun semakin nyata. Lonjakan harga kebutuhan pokok seperti beras, stagnasi pendapatan, dan wacana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 menekan daya beli masyarakat. Ditambah lagi, kenaikan upah minimum yang tak sebanding serta meningkatnya angka PHK, mendorong lebih banyak orang masuk ke sektor informal.
Anisa juga mengungkapkan bahwa rata-rata tabungan masyarakat pada akhir 2024 hanya sekitar Rp4,6 juta, lebih rendah dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan banyaknya keluarga kelas menengah yang kesulitan menjaga keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran.
Untuk menghadapi kondisi ini, ia menyarankan kelas menengah agar lebih disiplin dalam menyusun anggaran, memperkuat literasi keuangan, serta fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan tabungan. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sumber penghasilan dan peningkatan keterampilan sebagai langkah adaptif dalam menghadapi tekanan ekonomi yang terus berkembang.
“Pengelolaan finansial yang sehat dan pengembangan diri menjadi kunci agar kelas menengah bisa lebih tangguh menghadapi tantangan ekonomi,” tutup Anisa.