Semarang, DetikBisnis.com – Dusun Jeruk Wangi di Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, merupakan wilayah yang lekat dengan sejarah panjang sebagai sentra kopi. Di antara deretan tanaman kopi di sana, masih ada yang berasal dari masa kolonial dan kini tetap tumbuh subur di lahan milik warga lokal.
Salah satu tokoh yang menghidupkan warisan tersebut adalah Sriyanto, seorang petani dan pengusaha kopi. Ia menunjukkan pohon-pohon kopi pendek namun besar yang berasal dari stek bibit tanaman zaman dahulu. “Awalnya dari nenek moyang, saya juga ambil bibit dari pohon ini,” ujarnya saat menelusuri perkebunan kopi miliknya, Sabtu (19/4/2025).
Perjalanan Sriyanto tak selalu mudah. Setelah lulus SD pada tahun 1987, ia tidak melanjutkan sekolah, tapi memilih bertani. Ia sempat bekerja sebagai tukang bangunan hingga sales kaligrafi ke berbagai kota, termasuk Aceh. Dari sanalah ia mendapat inspirasi untuk membuka usaha kopi, terpesona oleh budaya kedai kopi yang hidup di sana.
Pada tahun 2014, ia memulai bisnisnya sendiri bermodal pinjaman BRI sebesar Rp 3 juta. Kini, usahanya berkembang dengan proses pengolahan yang profesional: mulai dari pemetikan, penjemuran selama 15 hari, hingga roasting dengan alat berteknologi temperatur otomatis. Setelah resting, kopi digiling dan dikemas sesuai pesanan.
Brand kopi yang ia usung, Kopi Kenthir (kenthel tur ireng), telah hadir di berbagai kafe, hotel, toko oleh-oleh di Jawa Tengah, bahkan sudah tampil di pameran luar negeri seperti Belanda, Jepang, Prancis, dan Australia. Dalam sebulan, ia memproduksi 200–600 kg kopi bubuk, terdiri dari blend robusta-arabika-ekselsa, blend arabika-robusta, dan robusta murni dengan harga mulai Rp160 ribu/kg hingga Rp250 ribu/kg.
Tak hanya sebagai produsen, Sriyanto juga inovator. Ia menciptakan kopi torik (kelotok tarik), perpaduan kopi klotok khas Jogja yang direbus bersama kopi dan kopi tarik Aceh yang disaring kain. Disajikan dengan gula aren dan susu, minuman ini punya cita rasa unik yang membawanya menjadi juara Krenova Kabupaten Semarang 2020.
Kesuksesannya memungkinkan Sriyanto membangun tempat produksi lengkap dengan alat roasting dan penggilingan senilai puluhan juta rupiah. Hasil usaha juga ia gunakan untuk menyekolahkan ketiga anaknya di pondok pesantren.
Sriyanto mendapat pendampingan dari berbagai pihak termasuk Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Tengah, melalui legalisasi usaha seperti NIB, PIRT, hingga sertifikasi halal. Pemerintah juga mengarahkan UMKM seperti miliknya untuk mengakses modal usaha melalui skema KUR dari BRI.
Dengan semua pencapaian itu, Sriyanto bukan hanya mempertahankan warisan, tapi juga menciptakan inovasi baru yang memperkuat identitas kopi lokal dari kaki Gunung Ungaran.