Malang, DetikBisnis.com – Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya, Malang, Tubagus Syailendra Wangsadisastra kerap menyantap ayam geprek sebagai makanan sehari-hari. Tahun 2016 menjadi awal pertemuannya dengan Ashab Alkahfi dari Fakultas Peternakan dalam sebuah pelatihan kewirausahaan. Pertemuan itu menjadi titik awal lahirnya ide bisnis unggas yang kini dikenal dengan nama Chickin.
Keduanya menyadari bahwa ayam, baik daging maupun telur, merupakan sumber protein paling terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Ketika harga daging sapi terlalu mahal dan distribusi ikan terbatas, ayam menjadi pilihan utama. Riset mereka mengungkap bahwa rantai nilai industri unggas di Indonesia mencapai Rp500 triliun per tahun.
Meski masih kuliah, Tubagus dan Ashab menelusuri dunia peternakan dengan serius, mulai dari fase bertelur hingga ayam dipanen. Mereka mengunjungi sentra peternakan seperti Klaten dan daerah lainnya. Dari pengamatan itu, mereka menemukan bahwa banyak peternak kecil mengalami kerugian akibat keterbatasan dana dan informasi.
Berbekal hasil lomba inovasi peternakan yang menghadiahkan Rp3 juta, keduanya memulai usaha dengan membuka kandang dan memelihara 500 ayam pada 2017. Inilah awal berdirinya Chickin.
Namun, perjuangan tidak mudah. Hingga 2019, Chickin belum mendapatkan perhatian investor, padahal startup agritech lain sudah mulai mendapat pendanaan. Dengan tekad kuat, mereka mendirikan PT Sinergi Ketahanan Pangan pada 2020.
Pada 2021, Chickin memenangkan pembinaan senilai Rp100 juta dari Pertamina. Bantuan ini menjadi bekal untuk memperluas pasar, terutama saat UMKM ayam goreng sedang lesu akibat pandemi. Chickin mengambil peluang dengan menjual langsung ke pelanggan lewat layanan pesan antar.
Tonggak penting berikutnya terjadi pada Juli 2022, ketika Chickin mendapatkan pendanaan dari East Ventures. Dana itu dimanfaatkan untuk menerapkan sistem IoT bernama Chickin Smartfarm yang mengatur iklim kandang demi menekan angka kematian ayam dan mengefisienkan penggunaan pakan.
Kini, Chickin menjalankan bisnis berbasis end-to-end, mulai dari pemberian akses modal, bibit, pakan, hingga jaminan pembelian hasil panen peternak. Peternak dapat menjadi mitra Chickin dengan sistem bagi hasil yang transparan.
Selain itu, Chickin mengembangkan unit usaha Chickin Fresh yang memproduksi ayam beku berkualitas. Produk ini dipasarkan ke restoran, pasar, dan jenama ternama seperti Golden Lamian, d’BestO, Hisana Fried Chicken, dan Dkriuk.
Meski demikian, bisnis ini tidak lepas dari tantangan. Beberapa mitra peternak sempat menjual hasil panennya ke pihak lain. Untuk mencegah hal itu, Chickin memperketat sistem tata kelola dan pengawasan.
Tubagus mengungkapkan bahwa agritech sangat rentan terhadap penipuan karena melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, Chickin menerapkan pendanaan berbasis pendampingan, mulai dari tahap awal hingga distribusi hasil.
Model bisnis Chickin yang memprioritaskan transparansi, pengawasan, dan efisiensi, terbukti mendatangkan keuntungan sejak awal berdiri. Perusahaan ini bahkan mengklaim tidak pernah melakukan praktik “bakar uang” seperti banyak startup lain.
Terbaru, Chickin memperoleh pinjaman sebesar Rp250 miliar dari Bank DBS Indonesia untuk memperkuat modal mitra peternak. Saat ini, Chickin telah membina lebih dari 60.000 peternak dan mengelola sekitar 12.000 kandang unggas.
Ke depannya, Chickin berencana mengakuisisi merek ayam goreng untuk memperkuat lini bisnis hilir dan ikut serta dalam program pemerintah “Makan Bergizi Gratis (MBG)”.